Konsep-konsep stratejik selalu saja memperoleh perhatian serius di dalam sebuah organisasi. Dalam sebuah organisasi terlibat lebih dari satu elemen pembentuk keadaan internal dan juga berbagai penampilan organisasi sejenis lainnya sebagai competitor. Disini, dalam ringkasan ini adalah hendak dikemukakan fungsi manajemen stratejik. Bila decision making dan planning merupakan fungsi dari manajemen, maka begitu jualah peranan pengambilan keputusan stratejik dan perencanaan stratejik kepada manajemen stratejik. Pertama, manajemen stratejik bertugas membuat keputusan stratejik yang menggolkan ketetapan tujuan dan sasaran. Kemudian manajemen stratejik pun menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk masa mendatang. Dan lantas menentukan siapa-siapa yang melakukannya serta bagaimana tindakannya. Setelah itu manajemen stratejik meninjau, menggerakkan aktifitas operasional total pihak-pihak yang bertanggung jawab, yang terlibat dalam pencapaian tujuan dan sasaran. Singkatnya, manajemen stratejik berfungsi membuat keputusan stratejik, menyusun planning stratejik, serta berfungsi juga untuk peninjauan atau evaluasi stratejik.
Komunikasi sebagai fungsi manajemen strategis harus berada dalam koaliasi dominan. Artinya, menurut Dra. Elizabeth
Goenawan Ananto, MM, Ph.D. FIPRA, sebagai salah satu pilar manajemen unit ini bertanggung jawab dan harus mempunyai akses langsung kepada top management. Dengan posisinya itu, lanjut peraih gelar Doktor bidang Business
Management yang juga Ketua Umum IPRA hingga tahun 2010 sehingga menempatkannya sebagai President wanita ke 8 dan wakil Negara Ketiga di Asia yang memimpin organisasi profesi dunia ini sesudah India dan Jepang, eksekutif
komunikasi akan terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan dengan memberikan saran atau masukkan yang bersifat strategis.
Berikut kami turunkan tulisan lengkap pandangan pakar sekaligus praktisi komunikasi strategis yang mensyaratkan unit PR harus dipimpin oleh seorang Manager yang paham akan visi perusahaan, dapat berbicara dalam bahasa manajemen dan mampu secara manajerial mengelola komunikasi ini:
Dalam studi Saya tahun 2006, sebanyak 77% dari responden (n = 1.018) menyatakan bahwa praktek public relations di Indonesia dipengaruhi oleh kematangan media massa. Masih ada media yang memberitakan praktek CSR misalnya,
yang keliru dan salah dari segi etika dengan tidak menggambarkan perubahan paradigma praktek komunikasi organisasi yang sudah berkembang jauh baik sebagai ilmu dan praktek. Di sini diperlukan kejelian untuk mencari nara sumber yang kredibel dan up to date, yang mengikuti perkembangan dari isu yang diangkat oleh media, sehingga terjadi proses pencerahan, yang memberikan gambaran futuristik mengenai tantangan dan solusi yang harus diambil.
Strategi bisnis bukan dilakukan oleh unit komunikasi / PR melainkan oleh unit lain dalam manajemen. Sebagai fungsi manajemen, PR bekerjasama dengan fungsi manajemen lain. Jika PR dianggap penting, dia akan ditempatkan di
posisi yang strategis dan kontribusinya terlihat signifikan. Intinya, sejauhmana PR diberikan wewenang/power oleh manajemen untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan serta dapat melaksanakan potensinya secara maksimal
akan menentukan signifikan tidaknya kontribusi peranannya dalam mengkomunikasikan strategi bisnis perusahaan.
Fungsi public relations mengendalikan karyawan melalui komunikasi persuasif untuk mencegah mogok, demonstrasi atau tindakan destruktif yang merugikan dan mencemarkan nama baik perusahaan – berapa kontribusi ekonomisnya dalam pengertian opportunity costs yang diselamatkan. Sementara unit PR juga perlu berkomunikasi keluar
untuk dapat meyakinkan publik bahwa perusahaan tetap berjalan secara normal.Jika PR dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis organisasi, dan berhasil mencarikan alternatif solusi dengan melakukan strategi
lobbying dan diplomacy kepada pihak terkait atau dapat memotong jalur birokrasi karena networking yang dilakukan – berapa nilai ekonomis yang diberikan kepada unit ini? Kontribusi yang signifikan tetapi tidak terlihat secara kasap mata ini hampir tidak pernah diukur, bahkan mungkin PR-nya sendiri tidak tahu bagaimana mengukurnya. PR harus dapat berbicara dengan data, bukan asumsi atau perkiraan saja. Hal ini yang merupakan kelemahan praktek PR di Indonesia. Di negara yang sudah maju PR-nya, data merupakan tolak ukur karena riset cenderung merupakan suatu keharusan untuk membuktikan efektivitas dari suatu program.
Keberhasilan program PR harus diukur melalui proses evaluasi atau riset, bahkan untuk menentukan merencanakan program komunikasi apa yang efektif – riset pendahuluan harus dilakukan. Di Indonesia hal ini jarang sekali dilakukan karena berbagai kendala internal, sehingga banyak keraguan terhadap efektivitas program PR yang hanya dianggap sebagai cost/biaya, bukan investasi jangka panjang.
refrensi : Elizabeth Goenawan Ananto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar